DPD Kurang Populer, Peran & Fungsinya Masih Belum Dipahami Masyarakat

Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai salah satu lembaga pemerintah ternyata masih kurang populer di masyarakat. 

DPD Kurang Populer, Peran & Fungsinya Masih Belum Dipahami Masyarakat
INILAH, Bandung - Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai salah satu lembaga pemerintah ternyata masih kurang populer di masyarakat. Di Jawa Barat misalnya, sebagian besar penduduknya tidak paham peran dan fungsi DPD.
 
Seperti dari data yang dibeberkan oleh Paciba Research Centre, 70 persen responden tidak paham dan bahkan tidak tahu sama sekali perihal peran dan fungsi DPD. Walaupun dari data lainnya dinyatakan 83 persen‎ responden mengetahui keberadaan DPD di struktur pemerintahan Indonesia.
 
"Sengaja kita lakukan survei terhadap DPD ini karena selama ini gaungnya tertutup oleh Pilpres atau bahkan kalah pamor oleh Pileg. Kita lakukan survei terhadap 43.152 responden di 27 kabupaten kota di Jawa Barat selama satu bulan dari November sampai Desember 2018 ini," kata Kepala Paciba Research Centre Yandi Heryandi di Jalan Malabar, Bandung, Rabu (12/12/2018).
 
Yandi ‎menuturkan sebagian besar responden bahkan menyangka bahwa pemahaman masyarakat terhadap DPD juga masih ada yang salah kaprah. Sebab, di antaranya masih ada yang menganggap bahwa DPD itu betransformasi menjadi DPRD.
 
‎Padahal, sambung Yandi, dalam melakukan survei sudah diupayakan dengan menggunakan pertanyaan yang lebih mengerucut. Selain itu, survei juga tidak hanya menyebar angket saja, melainkan dilakukan wawancara langsung.
 
"Pertanyaan tertutup pakai kuesioner, di sisi lain kita punya penelitian kualitatif terhadap tokoh masyarakat di tiap daerah, tapi kita tanya langsung kita yang nulis kalau kita simpen nanti entah ke mana," ujarnya.
 
Lebih lanjut ketika ditanya soal pilihan untuk DPD RI daerah Jawa Barat di Pemilu 2019 nanti Yandi membeberkan sebagian besar responden memilih tidak memberikan suaranya. Sekalipun ada yang dipilih, hal itu bukan karena memahami perihal DPD namun dikarenakan faktor popularitas dan kedekatan psikologis.
 
Dari hasil survei Paciba Research Centre, 70 persen responden tidak tahu harus memilih siapa. Elektabilitas tertinggi didapatkan Oni Suwarman sebesar 12 persen, lalu Yus Yus Kuswandana 9 persen, Suharno 6 persen dan Eni Sumarni sebesar 3 persen.
 
"Kalaupun mereka pilih Oni itu juga karena artis, temennya Sule, atau misalnya yang lainnya juga karena kenal‎ aja. Sisanya malah ga tahu akan memilih atau tidak. Margin eror survei kita 3 persen jadi bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya.
 
Sementara itu, mantan humas KPU Jawa Barat, Asep Kusnaedi juga mengakui apabila keberadaan DPD masih belum populer di masyarakat. Utamanya, yang berkenaan dengan peran dan fungsi DPD.
 
"Memang masyarakat pada umunya memang masyarakat kurang begitu paham tentang peran dan fungsi DPD, selama ini ketika memilih anggota DPD 2014-2019 hanya melihat sebagai popularitas atau kedekatan emosional, tapi untuk substansi tugas dan peran DPD itu sendiri masyarakat kurang paham," ujar Asep.
 
Asep menyebutkan selama ini DPD memang kurang bersentuhan langsung dengan masyarakat untuk membereskan persoalan yang lebih aktual. Padahal, menurutnya kemampuan untuk terjun ke lapangan ada, hanya saja tidak dimaksimalkan.
 
Menurut Asep, seusai mengumpulkan syarat dukungan dari 5 ribu KTP di minimal di kabupaten kota, ‎lalu lolos seleksi dan menjalankan sosialisasi, KPU juga memerintahkan agar para calon anggota DPD untuk memberikan pemahaman tentang peran dan fungsi DPD kepada masyarakat.
 
"Itu tanggung jawab moral DPD untuk menjelaskan kepda masyarakat. Ketika sudah duduk di situ juga harus mempertanggungjawabkan kepada konstituen apa yang sudah dia kerjakan," ujarnya.
 
Seperti diketahui, setiap provinsi di Indonesia mengirimkan empat orang terpilih untuk duduk di DPD RI. Dari Jawa Barat sendiri wakilnya di DPD yaitu Oni Sumarwan atau lebih dikenal dengan Oni SOS, lalu Ayi Hambali, Eni Sumarni dan mantan bupati Garutn aceng Fikri‎.
 
"Untuk posisi aman secara matematik itu aman di atas 2 juta. DPD itu tidak punya mesin politik, biasanya dia menggunakan relawan saat mengumpulkan KTP itu yang jadi mesin politik, atau menggunakan jaringan," pungkasnya.


Editor : inilahkoran